Topik Utama Hari Ini

Ternyata Tuhan "Tidak Berkuasa"

Refleksi Teologis atas Sifat -sifat Tuhan

Ada dua sifat Tuhan yang dipandang sebagai penentu untuk menyatakan kekuasaanNYa, yaitu kehendak (iradah) dan kekuatan (qudrah). Kehendak berjalan seimbang dengan kekuatan, sehingga kalau Tuhan memiliki kehendak maka itu berarti Tuhan memiliki kekuatan. Sebaliknya, jika Tuhan mustahil dengan sifat tidak berkehendak, maka mustahil pula Tuhan tidak memiliki kekuatan. Apa saja jika Tuhan menghendaki, maka segalanya akan terjadi dengan kekuatanNya (innama amruhu idza arada syai'an an yaqula lahu kun fayakun QS.36:82), dan Tuhan memang dinyatakan sebagai "berkekuatan untuk melakukan segalanya" (innallaha ala kulli syai'in qadir QS. 2:20). Namun demikian, kekuasaan Tuhan "tidak tak terbatas" karena ada yang membatasi, yaitu keadilan yang datang dari diriNya.
Tuhan bisa saja menghukum orang yang tidak berbuat kesalahan dan menyiksanya dengan siksa yang pedih. Sebaliknya, Tuhan bisa saja menyelamatkan orang yang berbuat kesalahan dan mengganjarnya dengan pahala dan sorga, semuanya atas dasar kehendak dan kekuatanNya. Namun, menghukum orang yang baik dan memasukkan orang jahat ke dalam sorga adalah suatu "ketidak adilan". Karena hukum Tuhan sendiri mengatakan: "barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka akan dibalas kebaikan, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, maka akan dibalas kejahatan" (QS. 6:160, QS. 30:44), jadi berjalan secara seimbang, dalam keadilan. Jika Tuhan melakukan hal tersebut, berarti Tuhan terlah berlaku "zhalim" terhadap hambanya sendiri, dan ini lagi-lagi mustahil bagiNya. Dengan demikian, meski Tuhan memiliki kehendak dan kekuatan, tapi kehendak dan kekuatan Tuhan "dibatasi" oleh keadilanNya sendiri.
Bagikan

Ternyata Nabi Muhammad Tidak Buta Huruf

Memaknai ke "Ummi" an Nabi Muhammad

Kata “ummi”, menurut Alquran adalah orang-orang yang tidak, atau belum diberi satupun Kitab oleh Allah. Kaum Yahudi telah diberi tiga buah kitab melalui beberapa orang nabi mereka. Karenanya, mereka di sebut ahli kitab. Sedangkan orang-orang Arab, belum diberi satupun kitab sebelum Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang orang Arab. Hal ini dijelaskan-Nya dalam Firman-Nya: “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab, dan orang-orang “ummi” (yang tidak diberi kitab), sudahkah kamu tunduk patuh?” (Qs Ali Imran: 20).

Berdasarkan ayat di atas, kata “ummi” itu tidak bermakna buta huruf. Alquran malah membantah keras jika kata "ummi" diartikan sebagai kebutahurufan Nabi Muhammad. Banyak ayat di dalam Alquran yang memerintahkan Nabi supaya membaca ayat-ayat-Nya kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Hal ini menunjukkan nabi pandai membaca.

Contoh ayat dimaksud antara lain; “Katakanlah (Muhammad), ‘Marilah, aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu….” (QS 6:151). Atau, “Demikianlah Kami mengutus kamu (Muhammad) kepada satu umat yang sebelumnya beberapa umat telah berlalu, agar engkau bacakan kepada mereka (Alquran) yang Kami wahyukan kepadamu.…” (QS 13:30). Atau, : “Dia yang mengutus kepada kaum yang ummi (orang Arab) seorang rasul (Muhammad) di kalangan mereka untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,” (QS 62:2). Baca juga dalam QS 5:27, QS 17:106, 27:91-92, QS 33:33-34, QS 39:71.

Sulit menerima hakikat bahwa seorang Nabi pilihan-Nya tidak tahu membaca padahal ayat yang diturunkan pertama kali adalah perintah membaca, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS 96:1). Ayat Alquran yang pertama sudah menyiratkan bahwa bahwa Nabi Muhammad tidak buta huruf. Sebab, sebuah kesia-siaan saja bila Allah menyapa Nabi Muhammad dengan perintah untuk membaca (kalau beliau dianggap buta-huruf). Karenanya, bagi Syekh Al-Maqdisi, penulis buku Nabi Muhammad, Buta Huruf atau Genius? (Mengungkap Misteri “Keummian” Rasulullah) jawabannya jelas: Ada tafsir sejarah yang keliru terhadap kapasitas Rasulullah, khususnya dalam soal baca-tulis. Dan semua itu, bersumber dari kekeliruan kita dalam menerjamahkan kata “ummi” dalam Alquran maupun Hadis, yang oleh sebagian besar umat Islam diartikan “buta huruf”.

Menurut Al-Maqdisi, “ummi” memang bisa berarti “buta huruf”, tapi ketika menyangkut Nabi Muhammad, “ummi” di situ lebih berarti orang yang bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani. Pada masa itu, kaum Yahudi dan Nasrani sering kali menyebut umat di luar dirinya sebagai orang-orang “ummi” atau “non-Yahudi dan non-Nasrani”, atau orang-orang yang tidak diberi kitab. Termasuk Rasulullah dan orang Arab lainnya.

Alquran tidak hanya menjelaskan nabi pandai membaca, tetapi pandai menulis. Dalam Alquran dijelaskan orang-orang kafir menuduh Rasul menulis dongeng-dongeng orang terdahulu dan disebutnya firman-firman Tuhan: “Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (QS Al-Furqan : 5).

Dan terakhir, terdapat sebuah ayat lagi yang insya Allah dapat menepis sama sekali keraguan terhadap Nabi yang dikatakan tidak pandai membaca dan menulis. Firman-Nya: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab sebelum (Alquran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, sekiranya engkau pernah membaca dan menulis niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.” (QS Al-Ankabut : 48).

Ayat ini menegaskan, Nabi tidak pernah membaca dan menulis satupun Kitab sebelum menerima Alquran. Maksudnya, setelah menerima Alquran, Rasul membaca dan menulis Kitab dengan tangan kanannya. Ayat ini pun menunjukkan, dengan tidak pernahnya Rasullullah membaca atau menulis satu kitab pun semisal Alquran, bukan berarti Rasulullah tidak tahu membaca dan menulis. Misalnya membaca dan menulis dalam urusan perdagangannya. Nabi adalah seorang pedagang yang terkenal. Dan para ahli sejarah sepakat, pada zaman Nabi tidak menggunakan angka-angka; huruf huruf abjad telah digunakan sebagai angka-angka. Sebagai seorang pedagang yang berurusan dengan nomor-nomor atau angka-angka setiap hari, Nabi tentunya tahu tentang abjad, dari satu sampai keseribu. Karenanya, tidak ada dalih yang kuat apalagi untuk mempertahankan pendapat Nabi Muhammad buta huruf.

Dr Muhammad Syahrur, Penulis Al-Kitab wal Quran tidak mau menerima cerita tentang buta hurufnya Nabi. Karenanya ia mengatakan, “Nabi memang ummi, tetapi beliau mampu membaca dan menulis.” Kalau keraguan masih ada, izinkan saya meminta untuk kembali membaca, surat pertama Tuhan kepada kekasih-Nya, “Bacalah (Muhammad) dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan….!” Wallahu ‘alam. *

Dikutip dari tulisan Ismail Amin, Mahasiswa Institute for Language and Islamic Studies, Republik Islam Iran. Pernah dimuat di Harian Fajar http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=45001

Memaafkan: Terapi Lebaran

Dari "Angpao" Idul Fitri

Ramadan meninggalkan kita. Dengan izin Allah, fajar lebaran kembali kita rasakan. Di suasana merayakan lebaran, umat Islam larut dalam rasa suka cita. Silaturahmi yang berangkat dari sentuhan kemanusiaan yang mendalam menjadi sebuah ritus keniscayaan. Pada saat ini, orang begitu gampang saling memaafkan tanpa kecurigaan sehingga secawan kerendahatian betul-betul mensyahdukan kalbu. Semua orang serasa baru lahir tanpa dosa, prasangka, apalagi nafsu untuk memperdayakan.
Kondisi ideal fitrah demikian merupakan awal untuk mencapai puncak dari sebuah perjalanan spiritual, yang ditempuh dengan menahan rasa lapar dan dahaga selama Ramadan. Ujungnya adalah tercapainya atomsfer batiniah-esoteris di mana segenap orang-orang beriman yang berpuasa bakal kembali kepada kesucian (‘idul fithri).
Idul Fitri menurut Jalaluddin Shuyuthi—yang semula disyariatkan tahun kedua hijriah—adalah salah satu momentum sebagai ajang ‘memestakan diri’ dengan memakai ‘pakaian’ kebesaran Tuhan (libasut taqwa) di hari itu dan di kemudian harinya dalam posisi kita yang ‘telanjang’ (fithrah) serta mendapatkan ampunan dosa yang diraih karena suksesnya menyelesaikan ibadah di bulan Ramadan.

Hemat saya, kegemilangan merampungkan ibadah Ramadan akan menjadi batu loncatan terwujudnya spirit egaliterianisme dalam Islam; semangat yang sangat menjunjung tinggi persamaan dengan tidak berlaku diskriminatif kepada sesama hamba Tuhan. Salah satu ibadah yang sangat otoritatif dan relevan dalam meneguhkan semangat egaliter ini adalah kesudian untuk saling memaafkan.

Memaafkan: Terapi Lebaran

Memaafkan atau mendahului memberi maaf adalah tindakan terpuji. Orang demikian telah melangkah pada titian putih. Kita layak malu pada diri sendiri dan pada orang-orang yang senantiasa berbuat baik. Karenanya, kita patut pada kesegeraan orang-orang yang memberi maaf sebelum kita meminta. Sebagaimana malunya ‘Umar bin Khaththab terhadap Abu Bakar yang selalu lebih awal dalam urusan berbuat baik.

Orang yang tidak pernah meminta maaf, apalagi tidak memberi maaf, adalah orang-orang yang merasa tidak pernah berbuat salah dan lupa. Orang yang mengaku tidak pernah berbuat salah dan lupa adalah orang-orang yang paling banyak melakukan kesalahan. Karena ia mengingkari fitrahnya sendiri yang terlahir sebagai manusia lemah yang tak luput dari salah dan lupa. Orang yang enggan meminta maaf dan memaafkan, karenanya, sama sekali tidak berhak mendulang pingat kemenangan dalam menyongsong lebaran. Bagaimanapun juga, memberi maaf dan minta maaf adalah keniscayaan insani tanpa ditakar neraca siapa yang salah atau timbangan mana yang keliru.

Memaafkan menghajatkan kita untuk menjauhi upaya menguliti aurat orang lain. Alquran menggunakan kata lahma (daging) dalam kaitannya dengan orang-orang yang suka mencari aib orang lain seraya menyebarkan fitnah (QS.49:12). Upaya mencongkel kesalahan orang lain adalah sikap yang tidak sportif, karena lazim dilakukan bukan di depan yang bersangkutan melainkan di belakangnya. Wajar saja kemudian yang bersangkutan tidak bisa membela diri, persis seperti daging. Menurut Buya Hamka, daging merupakan simbol dari benda yang tak memiliki kekuatan apapun; tak bernyawa sehingga tidak bisa membela diri, meskipun dibanting, dicincang dan digoreng.

Memaafkan memang tidak gampang. Kata para sufi, memaafkan harus dilatih terus menerus. Sifat pemaaf muncul karena kedewasaan ruhaniah. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan ghadhab di antara dua tekanan: pengecut dan pemberang. Sifat pemaaf menghiasi akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Ruhani mereka telah dipenuhi sifat Tuhan Yang Maha Pengampun (to err is human, but to forgive is divine).

Memaafkan tidak bisa direkayasa secara artifisial dengan acara pemutihan seperti halal-bi-halal. Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang juga tulus. Orang yang hanya memperhatikan dirinya tak akan dapat memaafkan. Pada hakikatnya, orang egois adalah adalah anak kecil yang menyangkan bahwa dunia ini diciptakan untuk memenuhi keinginannya. Salah satu akibat buruk dari kekuasaan adalah anggapan bahwa perkhidmatan orang lain kepada dirinya adalah kewajiban.

Jalaluddin Rakhmat (1998), yang akrab dipanggil Kang Jalal, menegaskan bahwa untuk dapat memaafkan kita harus memusatkan perhatian kita pada orang lain. Kita mesti beralih dari pusat ego ke posisi orang lain, dari egoisme menuju altruisme. Orang-orang altruis dalam Alquran disebut sebagai orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinun). Namun, memaafkan bukan sebuah entitat tunggal. Ia perlu dikawal dengan dua prilaku lainnya, yakni menahan marah dan berbuat baik. Menahan marah tanpa memaafkan hanya menumpuk-numpuk penyakit. Memaafkan tanpa berbuat baik hanya menyemarakkan ritus-ritus sosial. Oleh sebab itu, menahan marah, memaafkan dan berbuta baik harus dilakukan sekaligus.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, tradisi memaafkan perlu dibangun sebagai bagian dari nation and character building, karena kita tak mungkin berputar-putar pada masa lampau. Melihat kaca spion memang penting (past time), tapi memasukkan persneling, menekan gas dan menatap ke depan (futuru time) jauh lebih penting. Di sinilah urgensi kedewasaan.

‘Kedewasaan,’ ujar Martiner R. Feinberg, ‘adalah orang yang ikhlas menerima dirinya sendiri, serta memiliki kesabaran dan mampu menghargai orang lain sembari bersedia menerima kesalahannya untuk kemudian memaafkan.’ Orang demikian tidak memiliki halangan kejiwaan dalam berucap, berbagi dan memberi maaf. Hambatan psikologis yang biasanya membungkus angkuh dalam diri yang berada dalam pihak yang benar dipendam dalam-dalam. Seolah-olah hendak mengatakan, ‘Hari ini kamu yang salah, besok siapa tahu saya.’ Dari relung hatinya yang paling dalam terpancar kasih yang tulus, yang oleh Albert Camus disebut sebagai mature love (cinta sejati). Inilah cinta yang memiliki makna yang paling hakiki, yaitu merelakan dan mengampuni, mengerti dan memaafkan. Memang memaafkan lebih sulit daripada meminta maaf, namun memaafkan jauh lebih mulia daripada meminta maaf.

Akhirnya, beragam cerita pernah kita torehkan di atas kanvas hidup yang bising. Ada pertautan cita dan persentuhan rasa. Ada tetesan harapan dan titian kenyataan. Ada tuntutan batin dan tantangan lahir. Boleh jadi sebagian dan semuanya tidak tergapai. Lalu, siapa tahu telah menggumpa pula noda hitam. Yang sempat membuat kita tak rela saling menyapa. Ia terlahir, terbekukan, sekaligus terceraikan. Sejumlah pergumulan yang tak mengenakkan terpatri di sana. Untuk itu, menjelang hari fitri ini, hendaknya ada secercah maaf di antara kita. Sedari pagi dikau telah daku maafkan. Karenanya, berilah maafmu, sambutlah ucapanku; mohon maaf lahir dan batin. Minal ‘Aa’idiin wal Faa’iziin (Semoga kita menjadi orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beroleh kemenangan). Amin.

Tulisan Donny Syofyan: Dosen Universitas Andalas, Padang

SHOLAT: Media Membangun Kebersamaan Ummat

Oleh-oleh Lawatan ke "Sidratil Muntaha"
Sholat sebagai "oleh-oleh" dari lawatan ke Sidratil Muntaha dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj mengandung ajaran penting dalam upaya membangun kebersamaan ummat. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa segi; pertama, bahwa sholat merupakan kewajiban yang menurut ketentuan agama dilaksanakan secara terjadwal, sehingga saat waktu sholat tiba, kapanpun dan dimanapun kaum muslim wajib segera melakukannya. Ini berarti, bahwa sholat memberikan ajaran penting mengenai disiplin waktu dalam suatu waktu tertentu secara bersama. Sholat menjadi kurang bernilai jika dikerjakan tidak tepat pada waktunya, dan bahkan melalaikan sholat menyebabkan seorang dicap oleh Alquran sebagai orang yang mendustakan agama.
Kedua, dalam sholat, orang wajib membaca Surat al-Fatihah. Surat ini,mengandung klausa yang menyatakan "Hanya KepadaMu Ya Allah kami menyembah, dan Hanya kepadaMu ya Allah kami meminta pertolongan". Klausa ini menggunakan ungkapan kata "kami" sebagai bentuk jamak dari orang pertama. Penyebutan kata "kami" dalam klausa ini mengisyaratkan bahwa kebersamaan itu penting, hingga dalam ibadah menyembah Tuhan sendiripun dianjurkan untuk bersama-sama (berjamaah).
Dalam konteks inilah Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa "ibadah (sholat) yang dikerjakan secara berjamaah jauh lebih utama pahalanya jika dikerjakan secara sendiri-sendiri hingga duapuluh tujuh derajat". Ketiga, dalam sholat berjamaah, terdapat minimal seorang imam dan seorang makmum. Imam menjadi pemimpin sholat, sehingga gerakan makmun menuruti apa gerakan imam dan tidak boleh mendahului atau berpisah (mufaraqah),
karena itu akan menyebabkan gugurnya pahala berjamaah. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa sholat mengajarkan kepatuhan dan kebersamaan. Ibarat seorang presiden, maka ia menjadi kepala negara yang memimpin rakyatnya. Sementara rakyat harus tunduk dan patuh pada pimpinannya, namun tetap dalam konteks kebesamaan (berjamaah). Keempat, ketika seseorang mengakhiri sholat, maka ia membaca salam sambil menolehkan muka ke sebelah kanan dan kesebelah kiri. Gerakan ini mengisyaratkan, bahwa dalam hidup ini kita selalu dituntut untuk menebar kedamaian dan keselamatan antar sesama, tidak hanya sekedar menebar pesona. Gerakan untuk menoleh ke sebelah kanan berarti kita harus membangun nilai persaudaraan kepada orang-orang yang bernasib baik dan mujur. Sementara gerakan menoleh kesebelah kiri mengandung makna agar kita bisa membangkitkan kepedulian dan keprihatinan kepada orang-orang yang ada di samping kita yang lagi bernasib buntung. Rasulullah SAW dalam beberapa hadisnya pernah berujar, bahwa "tidak akan masuk sorga orang yang dalam ibadahnya rajin, tetapi tidak memperdulikan orang lain yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, sholat mengandung ajaran penting, tidak hanya dalam konteks membangun kesalehan individual, tetapi lebih dari itu sebagai media membangun kesalehan sosial. Wallahu A'lam.

Pojok Interaktif

Jaringan Sosial

Facebook Chat!

Live CAM

ANTARA News

TV Online

Orasi Ilmiah

Kuliah Tafsir

Reuni KAMFATAR88

ASSALAMU'ALAIKUM

My Twitter

ChatWithMe

Pesan Singkat